Dari Jalanan Menuju Layar
Namanya Alfan. Mahasiswa semester lima dari jurusan yang gak ada hubungannya sama desain—manajemen perhotelan. Tapi siapa sangka, dia sekarang dikenal di lingkaran kreator konten sebagai editor cepat tangan, yang bisa bikin desain promo, reel Instagram, bahkan animasi pendek dalam hitungan jam. Semua itu bukan hasil dari kuliah desain grafis, bukan juga dari les mahal. Tapi dari satu kebiasaan unik: ngamatin baliho iklan dan UI game slot *Mahjong Ways PGSOFT* setiap hari.
“Gue tuh gak ngerti teori layout atau grid, tapi mata gue udah terbiasa lihat komposisi yang ‘enak’. Gara-gara tiap hari naik motor lewat jalanan penuh baliho dan sering main game slot di HP,” katanya sambil tertawa. Dari situ, lahirlah perjalanan visual yang gak formal tapi ngasih hasil yang gak main-main.
Mata sebagai Guru Utama
Setiap pagi, Alfan naik motor dari kos ke kampus. Di sepanjang jalan, ada puluhan baliho, banner diskon, dan papan LED promosi digital. Tapi alih-alih sekadar lewat, dia jadikan semua itu sebagai “kelas desain” gratis. “Gue perhatiin kombinasi warna, font yang mereka pilih, penempatan elemen, bahkan gaya efek bayangan di teks,” jelasnya.
Bukan cuma baliho. Di waktu senggang, dia suka buka game Mahjong Ways PGSOFT. Tapi bukannya fokus menang, dia lebih tertarik ke tampilan user interface-nya. “Icon-nya lucu, transisinya smooth, warna latarnya gak bikin mata capek. Gue screenshot, terus pelajari kenapa rasanya nyaman dilihat,” tambahnya. Semua elemen visual itu dia simpan dalam folder referensi di HP dan laptopnya.
Belajar dari Screenshot dan Meniru Komposisi
Salah satu kebiasaan yang membentuk kemampuan desain Alfan adalah “screenshot dan duplikasi.” Setiap kali nemu tampilan yang menarik, entah itu di baliho, game, atau iklan YouTube, dia langsung screenshot. Lalu malamnya, dia buka Canva atau CapCut, dan mulai meniru layout-nya dari nol.
Bukan buat nyontek, tapi buat memahami. “Gue coba bikin ulang gaya banner diskon dari Alphamart, atau layout tombol di Mahjong Ways. Kalau bisa bikin mirip, berarti gue ngerti struktur visualnya,” katanya. Lama-lama, tangan dan mata Alfan terbiasa. Proyek edit jadi makin cepat, dan hasilnya makin enak dilihat—meskipun dia belum pernah pegang software profesional macam Adobe Illustrator sekalipun.
Konsistensi Setiap Hari, Bukan Sekali Belajar Banyak
Alfan punya prinsip sederhana: belajar dikit-dikit tapi setiap hari. “Gue gak kuat belajar 2 jam full desain. Tapi 20 menit tiap malam itu bisa gue lakuin terus,” ujarnya. Rutinitas kecil ini dia jaga selama lebih dari setahun. Kadang cuma ngulik satu font, kadang cuma ubah warna background, tapi gak pernah bolong.
Berkat rutinitas itu, sekarang dia bisa bikin konten untuk UKM di sekitarnya, dari banner promo makanan sampai desain katalog digital. Bahkan beberapa kontennya di TikTok yang mengusung gaya visual ‘ala slot game’ sempat viral dan dihubungi brand untuk kerja sama. “Lucunya, banyak yang kira gue lulusan DKV,” ujarnya sambil senyum.
Membaca Visual Seperti Membaca Bahasa
Menurut Alfan, desain itu kayak bahasa. Kalau sering denger, lama-lama bisa ngomong. Kalau sering lihat, lama-lama bisa bikin. Dan ia percaya, kemampuan ini gak cuma berguna buat bikin konten viral, tapi juga sebagai modal penting di era digital. “Sekarang semua butuh visual yang cepat, yang bisa tangkap perhatian dalam 3 detik. Kalau lo ngerti caranya, itu skill mahal,” katanya.
Karena itu, sekarang Alfan juga sering berbagi tips sederhana ke teman-temannya. Bukan soal software, tapi soal cara ngelatih mata dan rasa. “Kalau lo bisa ngerasain mana desain yang ‘kerasa niat’ dan mana yang asal jadi, itu tandanya lo udah mulai ngerti visual,” ujarnya. Hal yang gak bisa diajarkan cuma lewat buku.
Refleksi: Ilmu Bisa Datang dari Hal-Hal Sederhana
Kisah Alfan nunjukin bahwa kita gak harus punya akses ke pendidikan formal buat jago di bidang kreatif. Kadang, semua yang kita butuhin udah ada di sekitar—tinggal kita cukup peka dan sabar buat mengamatinya. Dari baliho jalanan, dari tampilan game slot, sampai iklan yang lewat di timeline.
Jadi, buat kamu yang merasa gak punya alat, gak punya guru, atau gak punya tempat belajar—mungkin yang kamu butuh cuma satu hal: kebiasaan mengamati. Karena dari mata yang terlatih, bisa lahir karya yang berdampak. Seperti Alfan, yang mulai dari layar HP dan baliho jalanan, tapi sekarang bisa bantu banyak brand bikin konten yang viral dan relevan.